Lonceng-lonceng di Kastel Victoria di Leitimor, Ambon, berdentang
sendiri. Orang berjatuhan ketika tanah bergerak naik turun seperti
lautan. Tak lama kemudian air laut datang dengan suara bergemuruh.
Demikian
penggalan catatan naturalis Georg Everhard Rumphius tentang gempa
dahsyat disusul tsunami yang melanda Pulau Ambon dan Seram pada 17
Februari 1674. Catatan itu dibuat Rumphius pada 1675 dan jadi
satu-satunya naskah yang diterbitkannya semasa hidup.
Kastel
Victoria di Leitimor itu kini ada dalam kompleks Benteng Victoria,
Ambon. Lokasi benteng ini persis di seberang Kantor Gubernur Provinsi
Maluku. Saat ini benteng itu dijadikan kompleks perkantoran dan
perumahan Komando Daerah Militer XVI/Pattimura.
Catatan Rumphius
itu sejauh ini merupakan dokumentasi lengkap tertua yang dibuat tentang
gempa dan air laut naik (istilah tsunami belum dikenal saat itu) di
Nusantara. Sebelumnya, bahkan hingga ratusan tahun kemudian, kisah
tsunami di Nusantara lebih kerap disebutkan dalam cerita lisan.
Awalnya,
naskah ini disimpan di Perpustakaan Kerajaan Belanda di Den Haag dalam
kategori anonim. Baru pada tahun 1871 ditetapkan bahwa laporan itu
dibuat Rumphius. Pada tahun 1998, catatan itu diterbitkan kembali atas
transkripsi W Buijze.
MJ Sirks PhD, profesor genetika dari
Universitas Groningen dalam tulisan Rumphius, the Blind Seer of Amboina
menyatakan, Rumphius begitu terikat dengan Ambon karena selama hampir 50
tahun dia tinggal di sana dan mengalami tragedi sekaligus kebahagiaan
dalam pekerjaannya.
Penyaksi buta
Kisah
perjalanan Rumphius memang penuh tragedi. Dia menghabiskan masa mudanya
di Hanau, Jerman, tempat ayahnya, August Rumpf, menjadi arsitek
terkenal. Namun, itu tidak menghalangi ketertarikan Rumphius untuk
menjadi petualang. Ia berharap untuk melihat dunia yang lebih besar dari
Hanau.
Rumphius pun meminta gurunya, Count Ludwig von Solms Grifenstein-Braunfels, untuk didaftarkan sebagai tentara Republik Venesia.
Namun,
setelah naik ke kapal di Holland, bagian barat Belanda, ia sadar telah
ditipu. Rumphius ternyata justru dimasukkan menjadi tentara West Indies
Company (WIC). Awalnya dia memang akan dikirim sebagai prajurit ke
Venesia, namun kapal itu mengubah haluan dan membawa para prajurit itu
ke Brasil.
Di tengah jalan, kapal Swarte Raef, yang membawa
Rumphius, diserang kapal Portugis. Rumphius kemudian dibawa ke Portugis.
Di sana ia dan teman- teman prajuritnya dilatih untuk menjadi tentara
Portugis.
Periode ini menjadi titik balik kehidupan Rumphius. Di
Portugis, keinginan bertualangnya tersalurkan ke arah lain. Ia mendengar
begitu banyak cerita luar biasa tentang dunia timur, dunia tumbuhan
yang aneh, dan hewan-hewan asing yang juga aneh. Semua itu membuat
keinginan Rumphius untuk menjelajah kian besar.
Setelah
meninggalkan Portugis pada 1648 atau 1649, Rumphius kembali ke Hanau.
Pada akhir 1652, ia mendaftarkan diri sebagai tentara East Indies
Company (EIC). Pada Juni 1653, dia pun mendarat di Batavia dan pada 8
November ia pergi ke Pulau Ambon.
Menjadi tentara ternyata tidak
memuaskannya. Gubernur Ambon saat itu, Jacob Hustaerdt, kemudian
memberinya tugas sipil. Pada 1662 Rumphius resmi menjadi menjadi pegawai
perdagangan di perusahaan EIC.
Pada saat itu juga Rumphius mulai
mempelajari hewan dan tumbuhan di Ambon secara sistematis. Selama
bertahun-tahun ia mendedikasikan waktu luangnya untuk belajar dan
menulis tentang flora dan fauna Ambon.
Rumphius kemudian menjadi
pimpinan di Hitu, sebuah daerah di pesisir utara Jazirah Leihitu di
bagian utara Pulau Ambon. Di sana ia tinggal bersama keluarganya.
Setelah dibebastugaskan dari perusahaan, Rumphius menemukan kebahagiaan
dengan meneliti alam.
Namun, pada tahun 1770 Rumphius mengalami
tragedi tragis. Dia kehilangan penglihatannya, tanpa ada penjelasan
penyebabnya. Kebutaan yang dialami tidak menghalanginya untuk
melanjutkan penelitiannya tentang flora dan fauna Ambon.
Dalam ilmu alam, Rumphius menghasilkan tiga kerja besar: Amboinsch Kruidboek, Amboinsch Rariteitkamer, dan Amboinsch Dierboek.
Kruidboek
atau ”Herbarium Amboinense” dipandang sebagai karya terbesar Rumphius.
”Di antara tulisan-tulisan itu ada tulisan Rumphius lain yang kurang
penting. Akibatnya, Tuan-tuan yang Mulia, ia tidak terlalu
merekomendasikannya. Ada yang Amboinsche-Rariteitkamer, yang terdiri
dari tiga buku, dan masih ada buku
lain, Land-, Lugt-en Zeegedierten dari kepulauan ini...” (dari surat
Gubernur Ambon ke Gubernur Jenderal di Batavia pada 20 Mei 1697).
Pada
1679 dan 1680, Gubernur Ambon memberikan asisten yang bernama Daniel
Crul untuk membantu kerja Rumphius. Anak Rumphius, Paulus Augustus, juga
membantu, setidaknya dari 1686. Rumphius menghasilkan banyak sekali
karya sehingga Gubernur Ambon Dirck de Haes menulis, ”Pekerjaan
sepertinya telah selesai, dan saat ini ada 1.720 bab termasuk 12 buku.”
Namun,
tragedi rupanya tidak menjauh dari Rumphius. Dalam kebakaran besar di
Ambon, pada 11 Januari 1670, buku, koleksi, dan manuskrip Rumphius turut
hancur. Untungnya sebagian buku utama bisa diselamatkan, namun
gambar-gambar yang dibuat Rumphius sebelum tahun 1670 turut dimakan api.
Tragedi terbesar
Bagi
Rumphius, tragedi terbesar yang dialaminya terjadi pada 1674, ketika
gempa dan gelora tsunami melanda. Bukan hanya karena petaka itu
menewaskan 2.322 orang di Pulau Ambon dan Seram, tetapi juga menewaskan
istri Rumphius dan salah satu anak perempuannya.
Hila, di dekat
Hitu, disebut Rumphius sebagai daerah yang paling menderita. ”Begitu
gempa mulai menggoyang, seluruh garnisun, kecuali beberapa orang yang
terperangkap di atas (benteng), mundur ke lapangan di bawah benteng,
menyangka mereka akan lebih aman. Akan tetapi, sayang sekali tidak
seorang pun menduga bahwa air akan naik tiba-tiba ke beranda benteng
(Amsterdam),” tulis Rumphius.
Air itu sedemikian tinggi hingga
melampaui atap rumah dan menyapu bersih desa. Batuan koral terdampar
jauh dari pantai. Sebanyak 1.461 orang tewas di Hila.
Sedangkan
di Hitu, menurut Rumphius, air laut naik hingga setinggi 3 meter dan
menyeret rumah-rumah kompeni. Sedikitnya 36 orang tewas.
Dengan
rinci Rumphius mengisahkan kondisi desa-desa di Ambon dan Seram yang
hancur akibat peristiwa itu. Sedikitnya ada 11 desa yang dideskripsikan
Rumphius.
Desa-desa itu terentang di sepanjang pesisir utara
Jazirah Leihitu, mulai dari Larike di ujung barat hingga Tial di ujung
timur. Di Pulau Seram yang tercatat adalah tempat-tempat di daerah
Huamual, seperti Tanjung Sial dan Luhu. Catatan lain juga berasal dari
Oma di selatan Pulau Haruku dan Pulau Nusa Laut.
Dalam khazanah
mitigasi bencana, catatan Rumphius ini merupakan warisan penting karena
memberi kesaksian bahwa Nusantara memiliki riwayat gempa dan tsunami
yang sangat panjang. Jauh sebelum tsunami dahsyat melanda Aceh pada 26
Desember 2004, Rumphius telah menuliskan tentang bencana sejenis di
bagian timur Nusantara.
Sayangnya, catatan rinci Rumphius itu tak
banyak diketahui masyarakat Ambon dan Seram. Nama Rumphius bahkan tidak
begitu dikenal.
”Tidak banyak yang tahu tsunami yang katanya
dicatat Rumphius. Kalau gempa di sini memang sering terasa, tapi
masyarakat tidak lari ke bukit, malah diam di tempat,” kata Damri Lating
(49), warga Hila.
Hal senada diungkapkan Said Lumaela (52),
warga Kaitetu, desa yang bersebelahan dengan Hila. ”Pernah dengar
tentang Rumphius, tetapi tidak tahu itu soal apa,” katanya.(M Zaid Wahyudi/A Ponco Anggoro)
Ikuti perjalanan Ekspedisi Cincn Api Kompas di www.cincinapi.com
Sumber : KOMPAS.com
Tsunami Tertua di Nusantara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
TIKI ESPEMA CLA-X. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar
thank' yo coment.e